Barangkali banyak umat islam yang merasa asing
dengan kata “KHUMUL”. Jika kita membahas riya’, maka istilah khumul menjadi
bagian yang tak terpisahkan. Khumul adalh sifat yang menandakan seseorang tidak
mau terkenal, popular dan tidak ingin mahsyur. Secara singkat, khumul berarti
orang yang tidak suka mencari ketenaran. Khumul sangat berkaitan dengan hati
dan niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Kiranya kita patut bertanya
dalam hati secara jujur, apakah selama ini kita berlaku demikian ?
Sumber :
Hidayah, April 2004
Adapun riya’ bermakna memamerkan diri dengan
sengaja menampakkan amal agar perbuatan baiknya diketahui kalayak ramai.
Timbulnya riya’ berawal karena seseorang ingin mencari tempat di hati orang
lain. Sebab itulah riya’ disebut suatu penyakit yang tertanam sebagai jaring
terbesar bagi para setan. Ali Bin Abi Thalib berkata :
“ada tiga tanda orang yang mempunyai sifat riya’ dalam beramal, yaitu malas mengerjakan amal kebaikan jika sendirian, rajin jika bersama orang lain dan menambah-nambah amal jika ia dipuji tetapi menguranginya jika dicela.”
Seperti kita ketahui bersama, kedudukan dan harta
adalah dua factor yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan sendi dunia.
Sember munculnya kemegahan adalah tersohornya nama baik dan kemahsyuran. Orang
tertarik kepada harta karena hendak memiliki dan memanfaatkannya. Sedang orang
yang tetarik kepda kedudukan sebab ingin dihormati, diagungkan, dan ditaati.
Orang-orang yang menginginkan kemegahan nama, biasanya akan berusaha mencari jalan
untuk memperbudak orang lain.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk mencapai
puncak ketenaran. Diantaranya memberikan sumbangan atau membuat acara dengan
mengundang media massa agar mempublikasikannya, menjual diri dan menggadaikan
kehormatannya, bahkan terkadang mengumbar ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi
untuk mengukuhkan posisi dirinya. Metode semacam ini sangat tidak dibenarkan
dalam islam. Rasulullah Saw. Memang menganjurkan umatnya supay banyak berbuat
baik, namun tidak boleh menyombongkan diri setelahnya. Kalaupun orang lain
tidak menyaksikan amal dan perilaku suci kita dalam kehidupan ini, kita mesti
yakin bahwa Allah Swt. Pasti melihat dan para malaikat akan mencatatnya sebagai
bekal kehidupan di akhirat kelak.
Sejujurnya, bukan berarti tidak ada manfaatnya
menjadi orang terkenal. Salah satu contoh, misalnya kita akan berbuat maksiat
di satu tempat. Mengingat orang lain sudah mengenal diri kita, maka kita
mengurungkan niat karena malu. Secara tidak langsung, berarti tidak sedikit
pihak yang menyoroti tingkah laku kita dalam kehidupan sehari-hari. Beranjak
dari sini pula kita mesti memahami dan
menyadari, bahwa ketenaran seseorang tidak boleh disalahgunakan oleh
keluarga maupun teman-teman dekatnya.
Orang yang gemar mencari ketenaran hidupnya tidak
akan abadi, karena sifat popularitas tidak akan lama bertahan. Saat itu memang
dia menyimpan kebanggaan tersendiri. Sayang, namanya hanya akan disebut ketika
dia masih berkuasa. Namun jika mereka telah tiada, namanya redup seiring
hilangnya wewenang yang menyertainya. Bangaimana dengan para nabi, wali, dan
ulama yang menjadi terkenal. Apakah mereka tercela? Sesungguhnya yang tercela
adalah mencari popularitas. Sedangkan mereka tidak punya keinginan terkenal.
Mereka mejadi terkenal karena kehendak Allah Swt., sebab mereka telah berjuang
menyebarkan agama-Nya secara ikhlas.
Al Fudlail bin iyad berkata,
“Jika engkau sanggup menjadi orang yang tidak terkenal, maka lakukanlah. Tidak celaka bagimu meskipun tidak terkenal. Tidak akan melarat bagimu meskipun tidak dipuji orang. Tidak akan sengsara hanya karena dihina orang, namun engkau terpuji di hadapan Allah Swt”.
Sebagai penutup saya
mengajak saudara pembaca untuk melestarikan budaya khumul yang selama ini
mungkin sudah terlupakan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar